Source. |
Tulisan ini memang terinspirasi oleh sebuah postingan 'heboh' yang ditulis oleh Isna Keumala, seorang 'pemula' di dunia blog. Meskipun saya pikir tulisannya malah lebih bagus dari saya.
Tulisan yang menghadirkan perdebatan dikalangan beberapa netizen. Seperti biasa soal mendukung dan tidak mendukung. Pasalnya sederhana, dalam tulisannya Isna menumpahkan kegeraman melihat perilaku yang mulai berkembang di antara perempuan Aceh. Tidak semua memang, tapi secara umum terlihat mulai banyak yang melakukannya.
Kontra muncul gara-gara Isna menuliskan kalimat yang keras. Ada perempuan Aceh yang lebih murahan dari pelacur.
"Aku terkesima melihat perempuan aceh yang dulu dikenal karena ketangguhan dan harga dirinya, sekarang banyak yang bangga jadi pelacur. Bahkan lebih murah dari pelacur.
Karena pelacur, harus dibayar untuk disentuh, diraba, digerayangi. Sedangkan mereka, boleh diraba, boleh disentuh, boleh digerayangi, boleh dinikmati, gratis. Cukup dengan kata aku cinta padamu, aku akan menikahimu, engkaulah bulan bintangku. Lalu tahun ini tubuhnya disentuh laki-laki ini, tahun depan dibelai laki-laki lain."
(kutipan dari blog Isna Keumala)
Sontak beberapa netizen mengkritik. Ada yang menyerang dengan tuduhan mencemarkan nama Aceh. Tidak ada hal begitu di Aceh, kurang lebih begitu pernyataan yang dicuatkan beberapa orang, secara kasar maupun halus. Yang lainnya mempertanyakan mengapa menyerang Aceh, padahal perilaku seperti dituliskan Isna juga jamak ditemukan di kota-kota lain.
Yang lainnya terbakar akibat kata pelacur dan lebih murahan. Caci maki pun dialamat kepada penulis yang menurut keterangannya sendiri hanya seorang ibu rumah tangga, yang bahkan tidak tamat SMA.
Meskipun saya membaca tulisan-tulisannya dan menemukan bahwa tidak tamat SMA itu tidak menghalanginya memiliki wawasan yang cukup luas.
Saya sendiri membaca tulisan itu dengan senyum getir. Terlepas dari bahasanya yang lugas, keras, dan blak-blakan. Itu sebenarnya tulisan curhat yang jujur.
Kenapa Aceh, kenapa bukan daerah lain. Saya rasa karena kita tinggalnya di Aceh, dan sedang bicara untuk daerah kita, yang kita tahu pasti.
Ada realita semu yang mengapung menutupi Aceh. Kenyataan buatan, kenyataan yang banyak orang Aceh sendiri memaksakan diri untuk mempercayai kenyataan palsu itu. Bahwa 'Aceh Serambi Mekkah' masih seperti dulu. Sebuah daerah yang mendapat gelar Daerah Istimewa karena ketangguhan keislamannya.
Kenyataannya. Saat ini secara perlahan budaya pergaulan ala barat menyusup masuk. Setelah sebelumnya membanjir deras bersamaan dengan masuknya banyak pendatang dalam proses rehap rekon Aceh pasca tsunami 2004.
Bukan tidak menghargai rekan-rekan yang datang untuk membantu membangun kembali tanah kelahiran saya ini, sama sekali bukan. Tapi fakta memang dengan masuknya banyak pendatang, masuk juga berbagai budaya sosial yang secara perlahan meresap dalam budaya lokal.
Kalau mau jujur, kita semua mengakui. Bahwa pasca masa rehap rekon, Aceh bukan hanya bertambah maju dalam hal modernitas, tapi juga bertambah maju dalam sisi gelap kehidupannya terutama semakin berkembangnya gaya pergaulan bebas ala barat, dan semakin jauhnya budaya Islami yang dulu melekat erat dalam kehidupan anak muda Aceh.
Masih kita ingat jelas peraturan 'jam malam' kota Banda Aceh yang diterbitkan oleh Pemko, menuai kritik keras. Tidak mendukung perempuan, kuno, kembali ke jaman batu, dan banyak lagi. Berbagai olok-olok juga bertebaran di sosial media.
Padahal budaya Aceh, memang melarang perempuan keluar malam kecuali untuk urusan penting, dan itupun mesti ditemani mahramnya. Membatasi? bukan, tapi memuliakan dan menjaga. Karena saya masih ingat, ada masa ketika anak perempuan punya keperluan di malam hari, maka abang, atau adik laki-laki, atau ayah, atau suami, bahkan abang ipar yang akan keluar. Perempuan adalah harga diri keluarga, dijaga dengan baik, bukan dianggap rendahan.
Sekarang ini, sepertinya sudah ada yang lupa dengan adat budaya Aceh.
Tak perlu data statistik ini itu. Ini bukan tulisan ilmiah atau reportase. Tapi cukup anda keluar rumah, jalanlah di malam hari di kota Banda Aceh, atau beberapa kota lainnya di Aceh. Seperti saya dan istri lakukan beberapa waktu lalu. Semudah kami menoleh, semudah itu kami temukan perempuan yang berkeliaran dengan laki-laki sampai larut malam. Suaminya? saya rasa angka pernikahan usia muda di Aceh belum sebanyak itu, hingga bisa melihat pasangan suami istri muda dimana-mana.
Pasti ada yang berkomentar, memangnya sudah bertanya? Alasan ngeles yang bagus. Silahkan pura-pura tidak tahu, pura-pura mereka itu semua suami istri.
Jam sebelas malam saya dan istri mampir di Rex Peunayong. Dan di samping kami ada pasangan muda yang percakapannya jelas menunjukkan mereka bukan suami istri. Sampai jam 12 malam, ketika kami pulang mereka masih disitu. Semoga mereka bukan anak yang tinggal bersama orang tua, karena kalau iya, maka orang tuanya jelas bermasalah.
Lalu apa yang kami temukan sepanjang jalan pulang, bertaburan pemandangan yang sama. Ketika saya ceritakan via socmed, ada yang berkomentar, kan pulang tarawih bang. Kalau malam minggu juga biasa bang, namanya melepas suntuk.
Jleb. Kacau logikanya. Pulang tarawih? malam ramadhan? malam minggu? jadi boleh begitu. Katanya perempuan bermartabat.
Bahkan di Jakarta, yang pulang kelewat malam bisa disembur sama orang tua, atau digembok pintu kos-kosannya. Orang tua tetap menjaga harga diri anaknya dan keluarga, jangan terlalu percaya sinetron ala selebritis. Dan budaya timur sebenarnya memang tidak membenarkan hal seperti itu. Tidak usah bicara budaya Islam, nanti banyak yang nyolot kebakaran kumis, budaya nusantara aja.
Saya teringat berbagai cerita yang disampaikan oleh teman, beberapa aktivis perlindungan perempuan, juga cerita dari ibu teman ketika kami berlebaran. Ada yang menikah karena MBA, Marriage By Accident. Satu, dua, tiga ... lima. Saya terdiam mendengar ibu teman saya menceritakan mengenai 5 pasangan pelajar yang terpkasa menikah karena terlanjur hamil dan itu masih dalam tahun 2015.
Ada kenyataan pahit. Kenyataan yang coba kita sembunyikan dengan menutup mata. Atau berlindung dengan kalimat 'sembunyikan aib'. Kita lupa, terus menerus menutupi dan menyembunyikan keburukan juga bukan solusi, kita justru berpotensi menjadi terbiasa dan kemudian tidak lagi menganggapnya buruk.
Seperti sinetron murahan di TV, yang kita lama-lama jadi terbiasa melihatnya. Seperti kata cerai dan selingkuh, yang kita sekarang sudah tidak terkejut lagi mendengarnya, bahkan ada yang begitu terbiasanya sehingga menganggap itu normal.
Tulisan Isna Keumala, memang tidak lembut. Bahkan jauh dari sempurna. Tapi seperti kata penulisnya, ini tamparan. Ditampar itu memang harus keras dan sakit, supaya terasa. Kalau lembut diperhalus, dibelai namanya. Dan itu malah enak. Kecuali ada yang ingin dibelai dengan kukuran kelapa. Lembut tapi pembelainya berduri tajam, mau?
Semoga, pro kontra ini tidak berkahir hanya sebatas komen di blog, semoga ingat, kita juga punya tanggung jawab untuk merubahnya, walaupun satu inci, walaupun satu garis, walaupun dengan cara yang paling lemah, tapi ada.
terkadang untuk membangun harus terlebih dahulu menghancurkannya.
ReplyDelete#Enlightment not Illuminate
isvahan
Jadi pengen nulis ginian juga hahahaha, judulnya kira2 "pelacur aceh, poligami, dan aceh masa kini" prikitiw nyerempet ama SARA tu ngeri2 sedap ya bang hehehhe
ReplyDeleteKeren bang...
ReplyDeleteSetujuuuu
ReplyDelete